Senin, 26 Oktober 2009

SEJARAH MUSIK ISLAM

BĀB III
SENI DALAM PANDANGAN ‘ULAMĀ’ ISLAM
Sebelum kita membahas dan mendiskusikan pendapat para fuqahā’, khususnya para imām madzhab yang empat terlebih dahulu kami kutipkan pendapat mereka tentang seni suara beserta dalīl-dalīlnya, baik dari golongan yang mengharāmkan maupun yang membolehkannya.
1. Imām Asy-Syaukānī, dalam kitabnya NAIL-UL-AUTHĀR menyatakan sebagai berikut (Lihat Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 100-103):
a. Para ‘ulamā’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut mazhab Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah, Azh-Zhāhiriyah dan jamā‘ah Sūfiyah memperbolehkannya.
b. Abū Mansyūr Al-Baghdādī (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī) menyatakan: "‘ABDULLĀH BIN JA‘FAR berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita (jawārī) dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī bin Abī Thālib r.a.
c. Imām Al-Haramain di dalam kitābnya AN-NIHĀYAH menukil dari para ahli sejarah bahwa ‘Abdullāh bin Az-Zubair memiliki beberapa jāriyah (wanita budak) yang biasa memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu ‘Umar datang kepadanya dan melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibnu ‘Umar bertanya: "Apa ini wahai shahābat Rasūlullāh? " Setelah diamati sejenak, lalu ia berkata: "Oh ini barangkali timbangan buatan negeri Syām," ejeknya. Mendengar itu Ibnu Zubair berkata: "Digunakan untuk menimbang akal manusia."
d. Ar-Ruyānī meriwayatkan dari Al-Qaffāl bahwa mazhab Maliki membolehkan menyanyi dengan ma‘āzif (alat-alat musik yang berdawai).
e. Abū Al-Fadl bin Thāhir mengatakan: "Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli Madīnah tentang, menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh saja."
Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya AL-‘UMDAH mengatakan bahwa para shahābat Rasūlullāh yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain ‘Umar bin Khattāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Abd-ur-Rahmān bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abī Waqqās dan lain-lain. Sedangkan dari tābi‘īn antara lain Sa‘īd bin Musayyab, Salīm bin ‘Umar, Ibnu Hibbān, Khārijah bin Zaid, dan lain-lain.
2. Abū Ishāk Asy-Syirāzī dalam kitābnya AL-MUHAZZAB (Lihat Abū Ishāk Asy-Syirāzī, AL-MUHAZZAB, Jilid II, hlm. 237) berpendapat:
a. Diharāmkan menggunakan alat-alat permainan yang membangkitkan hawa nafsu seperti alat musik gambus, tambur (lute), mi‘zah (sejenis piano), drum dan seruling.
b. Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara tersebut tidak boleh.
c. Dibolehkan menyanyi untuk merajinkan unta yang sedang berjalan.
3. Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪH-UL-MA‘ĀNĪ (Lihat Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪH-UL-MA‘ĀNĪ, Jilid XXI, hlm. 67-74).
a. Al-Muhāsibi di dalam kitābnya AR-RISĀLAH berpendapat bahwa menyanyi itu harām seperti harāmnya bangkai.
b. Ath-Thursusi menukil dari kitāb ADAB-UL-QADHA bahwa Imām Syāf‘ī berpendapat menyannyi itu adalah permainan makrūh yang menyerupai pekerjaan bāthil (yang tidak benar). Orang yang banyak mengerjakannya adalah orang yang tidak beres pikirannya dan ia tidak boleh menjadi saksi.
c. Al-Manawi mengatakan dalam kitābnya: ASY-SYARH-UL-KABĪR bahwa menurut mazhab Syāfi‘ī menyanyi adalah makrūh tanzīh yakni lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan agar dirinya lebih terpelihara dan suci. Tetapi perbuatan itu boleh dikerjakan dengan syarat ia tidak khawatir akan terlibat dalam fitnah.
d. Dari murīd-murīd Al-Baghāwī ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu harām dikerjakan dan didengar.
e. Ibnu Hajar menukil pendapat Imām Nawawī dan Imām Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa harāmnya (menyanyi dan main musik) hendaklah dapat dimengerti karena hāl demikian biasanya disertai dengan minum arak, bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja, seperti mengangkut suatu yang berat, nyanyian orang ‘Arab untuk memberikan semangat berjalan unta mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian perang, maka menurut Imām Awzā‘ī adalah sunat.
f. Jamā‘ah Sūfiah berpendapat boleh menyanyi dengan atau tanpa iringan alat-alat musik.
g. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi hanya pada perayaan-perayaan yang memang dibolehkan Islam, seperti pada pesta pernikahan, khitanan, hari raya dan hari-hari lainnya.
h. Al-‘Izzu bin ‘Abd-us-Salām berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Tidak ada laki-laki yang mengerjakannya selain orang yang kurang waras dan tidak pantas, kecuali bagi wanita. Adapun nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada ākhirat tidak mengapa bahkan sunat dinyanyikan.
i. Imām Balqinī berpendapat tari-tarian yang dilakukan di hadapan orang banyak tidak harām dan tidak pula makrūh karena tarian itu hanya merupakan gerakan-gerakan dan belitan serta geliat anggota badan. Ini telah dibolehkan Nabi s.a.w. kepada orang-orang Habsyah di dalam masjid pada hari raya.
j. Imām Al-Mawardī berkata: "Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyian alat-alat permainan itu maka maksud kami adalah dosa kecil bukan dosa besar."
4. ‘ABD-UR-RAHMĀN AL-JAZARĪ di dalam kitabnya AL-FIQH ‘ALĀ AL-MADZĀHIB-IL ARBA‘A (Lihat ‘Abd-ur-Rahmān Al-Jazarī, AL-FIQH ‘ALĀ AL-MADZĀHIB-IL ARBA‘A, Jilid II, hlm. 42-44) mengatakan:
a. ‘Ulamā’-‘ulamā’ Syāfi‘iyah seperti yang diterangkan oleh Al-Ghazali di dalam kitab IHYA ULUMIDDIN. Beliau berkata: "Nash nash syara' telah menunjukkan bahwa menyanyi, menari, memukul rebana sambil bermain dengan perisai dan senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti itu adalah hari untuk bergembira. Oleh karena itu hari bergembira dikiaskan untuk hari-hari lain, seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang memang dibolehkan syara'.
b. Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi'i yang mengatakan bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada seorangpun dari para ulama Hijaz yang benci mendengarkan nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya mengandung hal-hal yang tidak baik. Maksud ucapan tersebut adalah bahwa macam-macam nyanyian tersebut tidak lain nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang telah dilarang oleh syara'.
c. Para ulama Hanfiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah nyanyian yang mengandung kata-kata yang tidak baik (tidak sopan), seperti menyebutkan sifat-sifat jejaka (lelaki bujang dan perempuan dara), atau sifat-sifat wanita yang masih hidup ("menjurus" point, lead in certain direction, etc.). Adapun nyanyian yang memuji keindahan bunga, air terjun, gunung, dan pemandangan alam lainya maka tidak ada larangan sama sekali. Memang ada orang orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa ia benci terhadap nyanyian dan tidak suka mendengarkannya. Baginya orang-orang yang mendengarkan nyanyian dianggapnya telah melakukan perbuatan dosa. Di sini harus dipahami bahwa nyanyian yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang syara'.
d. Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan untuk memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus untuk momen seperti itu misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling dan terompet.
e. Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik, seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun tentang nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunat melagukannya ketika membacakan ayat-ayat Al-Quran asal tidak sampai mengubah aturan-aturan bacaannya.


BAB II
PRAKTEK SENI SUARA DAN SENI TARI DALAM SEJARAH ISLAM
Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zamān jāhilliyah. Di Hijāz kita dapati orang menggunakan musik mensural (?????) yang mereka namakan dengan IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm). Mereka menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.
Setelah bangsa ‘Arab masuk Islam, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasūlullāh, ketika Hijāz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.
Dalam buku-buku Hadīts terdapat nash-nash yang membolehkan seseorang menyanyi, menari, dan memainkan alat-alat musik. Tetapi kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu yang baru datang atau memuji-muji orang yang mati syahīd dalam peperangan, atau pula menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.
Dalam tulisan ini kami kutipkan beberapa riwāyat saja, antara lain riwāyat Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 949, 925. Lihat juga SHAHĪH MUSLIM, Hadīts No. 829 dengan tambahan lafazh:((وَ لَيْسَتَا مُغَنِّيَتَيْنِ"Kedua-duanya (perempuan itu) bukanlah penyannyi"):
"Pada suatu hari Rasūlullāh masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari) Bu‘ats (Bu‘ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-AWS yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madīnah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah).(di dalam riwāyat Muslim ditambah dengan menggunakan rebana). (Kulihat) Rasūlullāh s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada sā‘at itulah Abū Bakar masuk dan ia marah kepada saya. Katanya: "Di tempat Nabi ada seruling setan?" Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abū Bakar seraya bersabda: "Biarkanlah keduanya, hai Abū Bakar!". Tatkala Abū Bakar tidak memperhatikan lagi maka saya suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)....."
Dalam riwāyat lain Imām Bukhārī menambahkan lafazh (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ, Hadīts No. 509, 511):
(يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَ هذَا عِيْدُنَا)
"Wahai Abū Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang ini adalah hari raya kita (umat Islam)."
Hadīts Imām Ahmad dan Bukhārī dari ‘Ā’isyah r.a. (Lihat SHAHĪH BUKHĀRĪ Hadīts No. 5162, TARTĪB MUSNAD IMĀM AHMAD, Jilid XVI, hlm. 213. Lihat juga: Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR Jilid VI, hlm. 187):
(أَنَّهَا زَفَّتِ امْرَأَةً إِلى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ (ص): يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْوٍ فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ)
"Bahwa dia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshār. Maka Nabi s.a.w. bersabda: "Hai ‘Ā’'isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshār senang dengan hiburan (nyanyian)."
Juga ada lafaz Hadīts riwāyat Imām Ahamd berbunyi (Lihat Asy-Syaukānī, ibidem jilid VI, hlm. 187):
(لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّيْهِمْ وَ يَقُوْلُ: أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ فَإِنَّ الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيْهِمْ هَزْلٌ)
"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (oran-orang) wanita untuk bernayanyi sambil berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshār senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."
‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththānī (Lihat ‘Abd-ul-Hayy Al-Kaththāīi, AT-TARĀTIB-UL-IDĀRIYYAH, Jilid II, hlm. 121-126). mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasūlullāh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup (rumah) kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hammah (Lihat juga Ibnu Al-Asqalany, AN-NISĀ’, AL-'ASHĀBAH FĪ TAMYĪZ ASH-SHAHĀBAH, Jilid IV, hlm. 274 dan 275) dan Arnab (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalany, ibidem, hlm. 226).
Kaum lelaki masa Rasulullah dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak (jawārī) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya Amir bin Sa‘ad (seorang dari Tābi‘īn) pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm. 135):
(دَخَلْتُ عَلى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ الأَنْصَارِيِّ فِيْ عُرْسٍ وَ إِذَا جَوَارِيْ يُغَنِّيْنَ فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ يُفْعَلُ هذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ: اِجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا وَ إِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ)
"Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Abū Mas‘ūd Al-Anshārī. Ketika itu sedang berlangsung pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawārī) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya: :Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan pula? Quraizhah menjawāb: "Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silakan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan." (H.R. An-Nasai, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta Pernikahan).
Imām An-Nasā’i meriwayatkan dalam bāb Mengumumkan Pernikahan Dengan Suara (Nyanyian) dan Rebana yang diriwayatkannya dari M. bin Hathib bahwa Nabi s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN AN-NASĀ’I, Jilid VI, hlm. 127):
(فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَ الْحَرَامِ: الدُّفُّ وَ الصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ)
"Tanda pemisah (pembeda) antara yang halāl dengan yang harām (dalam suatu pernikahan) adalah (mengumumkanmua dengan) memainkan rebana dan menyanyi."
1. KEHIDUPAN MASYARAKAT ISLAM PADA MASA RASŪLULLĀH S.A.W.
Walaupun demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islam di masa Rasūlullāh s.a.w. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu (1). sederhana; (2). banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh.
Membela Islam dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan usaha sehingga tidak ada sisa waktu lagi untuk bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik, lagu) apalagi menikmatinya. Orang-orang Islam dengan lagu dan musik. Ini membuktikan bahwa masyarakat Islam di masa Rasūlullāh bukan tanah yang subur untuk kesenian. Tetapi ketika wilayah Islam meluas, kaum Muslimīn berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi.
2. PENGARANG TEORI MUSIK DARI KALANGAN KAUM MUSLIMĪN.
Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah (wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimin banyak yang mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Hindia. Mereka mengarang kitab-kitab musik baru dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya.Di antara pengarang teori musik Islam yang terkenal ialah:
1. Yunus bin Sulaimān Al-Khatīb (wafat tahun 785 M.). Beliau adalah pengarang musik pertama dalam Islam. Kitāb-kitāb karangannya dalam musik sangat bernilai tinggi sehingga penggarang-penggarang teori musik Eropa banyak yang merujuk ke ahli musik ini.
2. Khalīl bin Ahmad (wafat tahun 791 M.). Beliau telah mengarang buku teori musik mengenai not dan irama.
3. Ishāk bin Ibrāhīm Al-Mausully (wafat tahun 850 M.) telah berhasil memperbaiki musik ‘Arab jāhilliyah dengan sistem baru. Buku musiknya yang terkenal adalah KITĀB-UL-ALHAN WAL-ANGHĀM (Buku Not dan Irama). Beliau sangat terkenal dalam musik sehingga mendapat julukan IMĀM-UL-MUGHANNIYĪN (Raja Penyanyi).
3. PENDIDIKAN MUSIK DI NEGERI-NEGERI ISLAM.
Selain dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan para pejabat lainnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik. (Lihat Prof. A.Hasmy, Sejarah kebudayaan Islam, hlm. 320-321).
Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islam di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘id ‘Abd-ul-Mu’mīn (wafat tahun 1294 M.).
Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di istana dan di rumah pejabat negara atau pun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik. (Lihat Prof. A. Hasjmy , ibidem, hlm. 322).
Di antara pelayan (jawārī) atau biduan dan biduanita yang menjadi penyannyi di istana negara tercatat nama-namanya sebagai berikut (Lihat Prof. A. Hasjmy, ibidem, hlm. 324-326):
Yang menjadi biduan antara lain:
1. Ma‘bad.
2. Al-Kharīd.
3. Dua bersaudara Hakam dan ‘Umar Al-Wady.
4. Fulaih bin Abī ‘Aurā,
5. Siyāth.
6. Nasyīth.
7. Ibrāhīm al-Mausully dan puteranya Ishāk al-Mausully.
Adapun biduanitanya anatara lain:
1. Neam (biduanita istana Khalīfah Makmun).
2. Bazel dan Zat-ul-Khal (biduanita istana di masa Khalīfah Hārūn Ar-Rasyīd).
3. Basbas (biduanita istana di masa Khalīfah Al-Mahdi).
4. Habhabah (biduanita kesenangan Khalīfah Yazīd I), dan
5. Sallamah (biduanita istana Khlīfah Yazīd II).
BĀB IV
GOLONGAN YANG MENGHARAMKAN MENYANYI DAN MAIN MUSIK
Imam Ibnu Al-Jauzi (Lihat Talbis Iblis, hlm. 2321-?), Imam Qurthubi (Lihat Tafsir Qurtuhbi, Jilid XIV, hlm. 51-54), Asy-Syaukani (Lihat Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 442) telah mencantumkan berbagai dalil tentang haramnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik, antara lain sebagai berikut:
1. Firman Allah s.w.t.:
(وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَ يَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِيْنٌ) (لقمان:6)
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahw-ul-hadis) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (31:6).
Sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan tabi'in seperti Mujahid, Hasan Al-Basri, Ikrimah, Said bin Zubair, Qatadah dan Ibrahim An-Nakha'i menafsirkan lahw-al-hadis dengan arti nyanyian atau menjualbelikan (menyewakan) biduanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 442). Begitu juga pendapat sebagian ahli tafsir, antara lain Imam Ibnu Katsir yang berkata (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 442): "Orang-orang celaka itu telah berpaling dari mendengarkan Kalamullah dan mengambil manfaatnya. Mereka cenderung mendengarkan suara seruling nyanyian dengan irama alat-alat musik yang melenakan."
2. Firman Allah s.w.t.:
(أَ فَمِنْ هذَا الْحَدِيْثِ تَعْجَبُوْنَ وَ تَضْحَكُوْنَ وَ لاَ تَبْكُوْنَ وَ أَنْتُمْ سَامِدُوْنَ) (النجم:59 - 61)
"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?" (53:59-61).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksud SAAMIDUUN ialah AL-GHINA (nyanyian) ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm.261). Kata tersebut diambil dari bahasa Kabilah Himyar. Kabilah ini sering berkata: SAMADA LANAA GHANNA LANAA" (mereka bernyanyi untuk kita). Pendapat Ibnu Abbas ini didukung oleh pendapat yang sama dari Mujahid dan Ikrimah (Lihat Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 231; dan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV, hlm.261).
3. Firman Allah s.w.t.:
(وَ اسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ....) (الإسراء:64)
"Dan asunglah (kobarkanlah, bujuklah, incite, stir up) siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan suaramu (shautika)...." (17:64).
Perkataan Shautika (suaramu) yang ditujukan kepada Iblis serta digunakan untuk membujuk manusia. Maksudnya tidak lain adalah agar melakukan perbuatan maksiat, menurut Mujahid ia tidak lain adalah nyanyian dan hiburan. ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 50; Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 232).
4. Hadis Bukhari yang diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy'ari (Lihat SHAHIH BUKHARI, Hadis No. 5590):
(لِيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيْرَ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ وَ لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيْهِمْ يَعْنِي الْفَقِيْرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُوْا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ الآخَرِيْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)
"Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutra, arak dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: "Datanglah kepada kami esok hari." Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat."
5. Hadis riwayat Imam Ahmad dari Abu Umamah.(Lihat Tartib Musnad Imam Ahmad, Jilid V, hlm. 259; dan Imam Asy-Syaukani, Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 98):
(تَبِيْتُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ عَلى أَكْلٍ وَ شُرْبٍ وَ لَهْوٍ وَ لَعْبٍ ثُمَّ يُصْبِحُوْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ وَ تُبْعَثُ عَلى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَائِهِمْ رِيْحٌ فَتَنْسِفُهُمْ كَمَا نُسِفَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاسْتِحْلاَلِهِمْ الْخَمْرَ وَ ضَرْبِهِمْ بِالدُّفُوْفِ وَ اتِّخَاذِهِمِ الْقَيِّنَاتِ)
"Sekumpulan umatku melewati malam dengan makan, minum, hiburan, dan permainan. Esok harinya mereka ditukar dengan (rupa) monyet dan babi. Lalu kepada orang yang masih hidup di kalangan mereka diutus angin untuk memusnahkan mereka sebagaimana telah memusnahkan orang-orang terdahulu disebabkan karena sikap mereka menghalalkan arak, memukul rebana dan mengambil biduanita (untuk menyanyi) bagi mereka."
6. Hadis riwayat Abu Dawud (Lihat SUNAN ABU DAWUD, Jilid IV, hlm. 282, Hadis No. 4927):
Hadis ini datang melalui Sallam bin Miskin yang didengarnya dari seorang tua yang melihat Abi Wail hadir di suatu pesta pernikahan. Di pesta itu orang-orang asyik bermain, bersenang-senang dan bernyanyi bergembira. Waktu itu timbul hasrat Abu Wail untuk mencegahnya. Sambil melepaskan sorban Abu Wail berkata: "Kudengar dari Abdullah bin Mas'ud bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
(الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ)
"Lagu atau nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati."
7. Hadis Imam Tirmidzi yang diriwayatkan dengan sanadnya dari Imran bin Husain bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda (Lihat SUNAN TIRMIDZI, Hadis No. 2309; Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm.98):
(فِيْ هذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ مَتَى ذلِكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ الْخُمُوْرُ)
"Pada umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan." Bertanya salah seorang di antara kaum Muslimin: " Kapankah yang demikian itu akan terjadi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Apabila telah muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum Muslimin."
8. Hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Jabir bin Addillah dengan sanad Hasan Shahih (Lihat SUNAN TIRMIDZI. Hadis No. 1011; juga "Musannaf Ibnu Abi Syaibah. Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi, Ishaq bin Rahwi, Sunan Al-Baihaqi, Musnad Al-Bazzar, dan Al-Mushalli; Lihat Abdullah bin Yusuf Az-Zailai, NASHB-UR-RAYAH LI AHADITH-Il-HIDAYAH, Jilid IV, hlm. 84; dan Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis, hlm. 233).
Pada suatu ketika Rasulullah s.a.w. memegang tangan Abd-ur-Rahman bin Auf. Beliau mengajaknya bersama-sama untuk membesuk (pay visit to patient) Ibrahim (anak beliau) yang sedang sakit. Ketika itu beliau melihat anaknya dalam keadaan sakaratul maut. Lalu Rasulullah s.a.w. mengangkat anaknya dan memangkunya sambil menangis. Melihat hal ini Abd-ur-Rahman bin Auf berkata: Adakah engkau, ya Rasulullah menangis? Padahal engkau melarang kaum Muslimin melakukannya."
Mendengar perkataan tersebut Rasulullah s.a.w. bersabda:
(لاَ وَ لَكِنْ نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ خَمْشِ وُجُوْهٍ وَ شَقِّ جُيُوْبٍ وَ رَنَّةِ الشَّيْطَانِ) و في الحديث كَلام أكثر من هذا
"Tidak, aku tidak pernah melaramg orang menangis. Tetapi yang aku larang adalah mengenai dua macam suara dari orang tolol: suara ratapan orang yang ditimpa musibah yang disertai dengan mencakar muka dan merobek baju, dan teriakan Setan. (yakni suara suruhan dari setan yang mendorong orang untuk berteriak histeris)."
9. Hadis riwayat Ibnu Jarir Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Umamah Al-Baahily. Katanya : "Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda (Lihat TAFSIR ATH-THABARI, Jilid XXI, hlm. 39; Ibnu Jauzi, TALBIS IBLIS, hlm. 232):
(لاَ يَحِلُّ تَعْلِيْمُ الْمُغَنِّيَاتِ وَ لاَ بَيْعُهُنَّ وَ لاَ شِرَاؤُهُنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ)
"Tidak boleh mengajari wanita-wanita (untuk menyanyi), tidak halal memperjualbelikan mereka. Harga jual belinya juga haram."
Imam Ath-Thabari kemudian berkata lagi: "Terhadap merekalah ayat enam surat Luqman diturunkan."
10. Hadis riwayat Ibnu Ghailan Al-Bazzaz (dari ???) Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda (Lihat Imam Asy-Syaukani, NAIL-UL-AUTHAR, Jilid VIII, hlm. 100; 'Ala'uddin Al-Burhanfuri, KANZ-UL-UMMAL, Jilid XV, hlm. 226, Hadis No. 40689):
(بُعِثْتُ بِكَسْرِ الْمَزَامِيْرِ)
"Aku diutus untuk menghancurkan seruling-seruling."
Ibnu Ghailan juga meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
(كَسْبُ الْمُغَنِّي وَ الْمُغَنِّيَةِ حَرَامٌ)
"Penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah haram."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar